JAKARTA, KOMPAS.com - Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi kembali mendesak pemerintah agar mengeluarkan regulasi yang memberi kesempatan kepada ibu pekerja selama pemberian ASI eksklusif untuk cuti menyusui 6 bulan di luar cuti hamil dan melahirkan.
Demikian disampaikan Ketua Yayasan Gerakan Masyarat Sadar Gizi, Dr. Tirta Prawita Sari, MSc, SpGK, kepada Kompas.com, menyambut pekan ASI Sedunia yang tepat jatuh pada hari ini (1/8/2012), melalui pesan elektroniknya.
Seperti telah diketahui, pemerintah saat ini hanya menetapkan cuti melahirkan sesuai UU Tenaga Kerja Nomor 13 tahun 2003 yaitu selama 3 bulan. Implementasinya di lapangan, cuti menyusui hanya dilakukan oleh sedikit institusi bagi pekerjanya. Kebijakan mengenai cuti ibu menyusui atau mengenai keluangan waktu untuk menyusui belum mendapatkan perhatian yang serius.
"Dengan masa cuti yang sangat sempit seperti itu, akan menyebabkan kesempatan ibu untuk kontak menyusui bayi juga sangat terbatas," katanya.
Padahal, kata Tirta, semua orang tahu bahwa ibu yang menyusui selain karena ASI yang diberikan mengandung berbagai nutrisi yang diperlukan oleh bayi, kegiatan menyusui juga dapat mempererat hubungan emosional (bonding) antara ibu dan bayi. Gizi seimbang dalam ASI membuat bayi lebih sehat, lebih cerdas, tidak mudah sakit, dan tidak mengalami obesitas.
Tirta mengungkapkan, pemberian ASI tidak hanya menguntungkan bayi, melainkan juga si ibu. Sebagai contoh, pemberian ASI Eksklusif dapat menjadi metode Keluarga Berencana (KB) dimana kehamilan dapat dicegah bila ibu menyusui langsung bayi selama 6 bulan, yang disebut dengan Metode Amenorea Laktasi (MAL). Selain itu, ada pula jenis kanker yang dapat dicegah dengan menyusui, salah satunya kanker payudara.
"Pemerintah harus lebih memperhatikan dan mengeluarkan aturan yang mendukung ibu bekerja yang menyusui ASI eksklusif untuk membangun generasi bangsa yang sehat dan cerdas di masa depan," jelasnya.
Pemerintah, lanjut Tirta, kurang menyadari posisi ibu menyusui yang juga bekerja bukanlah posisi yang seharusnya dibenturkan pada kenyataan keharusan memilih antara kewajiban memberikan ASI atau tetap bekerja.
Pasalnya, kebanyakan perempuan pekerja tersebut bukan berasal dari kalangan ekonomi kelas menengah atas yang bekerja semata sebagai aktualisasi. Namun mereka berkerja sebagai tuntutan ekonomi keluarga karena suami yang tak memiliki penghasilan yang memadai.
"Jika kontak ibu dengan bayi dibatasi terus menerus, maka para ibu di tidak dapat menyusui anak mereka untuk mendapatkan gizi terbaik dari ASI. Akibatnya anak Indonesia dapat menderita kekurangan gizi, menurunkan kecerdasan anak, juga meningkatkan angka kesakitan dan kematian bayi," tegasnya.
Tirta beranggapan, kebijakan cuti melahirkan selama 3 bulan menjadi ambigu dan tidak konsisten. Padahal, dalam PP 33 tentang ASI Eksklusif tersebut jelas sekali bahwa setiap ibu wajib memberikan ASI kepada bayinya secara eksklusif.
"Dengan beban tersebut, fasilitas yang diberikan oleh pemerintah terhadap wanita pekerja yang juga menjalankan fungsinya sebagai ibu menyusui jelas tidak akan berfungsi optimal," terangnya.
Perbandingan negara lain
Sebuah penelitian di Australia yang dilakukan oleh National Health Survey tahun 2001 menyebutkan alasan-alasan para ibu menghentikan pemberian ASI adalah karena ASI tidak mencukupi atau tidak diproduksi, puting lecet, dan kembali ke pekerjaan.
Untuk mengatasi masalah pemberian ASI ekslusif dan pekerjaan. Di Australia, setiap keluarga diberi jatah cuti maksimal 52 minggu tidak dibayar, seorang ibu dapat menggunakan jumlah waktu yang dinginkan untuk cuti. Ibu yang menyusui juga mendapat kelonggaran dari bekerja sepanjang hari menjadi paruh waktu (1- 15 jam per minggu) atau waktu yang fleksible.
Hal yang sedikit berbeda dilakukan oleh negara Inggris, dimana 39 minggu diantara 52 minggu jatah keluarga dengan tetap mendapat gaji. Sementara di Brazil, ibu bekerja yang menyusui mendapat jadwal 2,5 jam diantara jam kerja untuk menyusui bayi selama 6 bulan. Berbeda lagi dengan Swedia, disini ibu yang baru melahirkan mendapat cuti melahirkan dan merawat bayi sampai 18 bulan, sedangkan di Republik Ceko selama 7 bulan (28 minggu).
0 komentar:
Post a Comment