Isak tangis semakin mengelegar, manakala mereka menyaksikan bayi berjenis kelamin laki-laki, berumuran 3 bulan, menangis histeris, seakan-akan ikut merasakan kepiluan hati, ditinggal mati ibu yang telah melahirkannya.
Bayi tersebut, memang tidak lain adalah salah satu putra dari perempuan yang telah tak bernyawa itu. Tubuhnya yang mungil, terlihat sangat pucat. Nyaris tidak terdapat secuil dagingpun yang membalut tubuhnya. Yang nampak, hanyalah tulang dan kulit semata. Siapa pun yang menyaksikan, tentu akan merasa iba. Terlebih, kalau melihat kenyataan perekonomian keluarganya, yang memang berada dibawah garis kemiskinan. Rumah mereka tidak punya. Gubuk yang mereka tempati, merupakan tumpangan sementara dari salah satu sanak keluarga.
Tak ayal, melihat kondisi demikian, tidak sedikit dari para pelayat, memprediksi nasib buruk akan selalu membayangi masa depan si-bayi.
“Apa bisa hidup, yah, bayinya?”, celetuk salah satu pelayat, ’meraba-raba’ nasib si-bayi, yang tentu saja menambah luka hati keluarga yang memang tengah berduka. Tak ubahnya luka tersiram air cuka. Mungkin itulah gambarannya. Perih dan sangat menyakitkan.
Tak sedikit pula dari mereka --karena merasa kasihan-- mencoba mengajukan diri untuk mengadopsi anak tersebut.
”Kalau diizinkan, kami ngin mengasuh anak ini, pak. Kami tidak akan menyia-nyiakannya. Akan kami anggap dia sebagai anak kandung kami sendiri,” pinta di antara mereka kepada sang-bapak.
Walaupun demikian, pihak keluarga --terutama sang-ayah-- tidak mau ambil pusing. Dia yakin, bahwa di balik musibah yang tengah melanda keluarganya, terdapat banyak hikmah yang memang belum terkuak saat itu. Karenanya, dia menolak keras permintaan orang-orang yang hendak mengadopsi bayi malang itu, sekalipun keadaan ekonomi tengah carut-marut.
Mandiri Sejak Dini
Peristiwa mengharukan itu, terjadi 25 tahun silam. Dan bayi itu, kini telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang kini mengabdikan dirinya di salah satu lembaga pendidikan Islam. Khoirul Huda, itulah namanya. Terlahir di tengah keluarga serba kekurangan, serta ditinggal mati ibu ketika masih dalam buaian, menjadikannya tumbuh menjadi pribadi yang mandiri. Dan pola pendidikan itu pula yang diterapkan ayah dan kakak-kakaknya.
Sejak kecil, Huda –begitu ia biasa disapa- sudah terbiasa bekerja keras. Sepulang dari sekolah, misalnya, ia harus membereskan seluruh pekerjaan rumah, mulai dari menyapu halaman, hingga menanak nasi. Wajar, karena semua anggota keluarganya pergi ke ladang, dan baru pulang, ketika matahari telah di ufuk barat.
Selain itu, ia juga tidak malu-malu untuk menjajakan barang jualannya, yang berupa mainan-mainan anak, semacam balon dan sejenisnya, dari kampung satu ke kampung yang lain. Kiloan meter jarak ia tempuh dengan jalan kaki. Pengatnya sinar matahari. Derasnya guyuran hujan, sama sekali tak meredupkan semangat bungsu dari tujuh bersaudara ini, untuk menapakkan kaki, selangkah demi selangkah, menelusuri gang-gang perkampungan.
Sekalipun melelahkan secara fisik, aktivitas-aktivitas tersebut, dia jalani dengan lapang dada. Status sosial yang dipegang sebagai anak miskin dan tak beribu, sama sekali tidak pernah mengucilkannya untuk terus berjuang, ”Sering sekali saya diejek. Terutama oleh teman sepermainan. Tapi jarang saya hiraukan”, kenangnya.
Mengejar Mimpi
Mimpi, adalah satu hal yang semua orang boleh memilikinya, tanpa harus membedakan status sosial, atau tetek-bengek lainnya. Begitu juga dengan putra dari Ardi dan Suyyah ini. sedari kecil, dia telah memiliki angan-angan untuk terus menuntut ilmu, terutama ilmu agama. Terlebih ketika melihat jejak ‘raport’ saudara-saudaranya yang ‘berguguran’ sekolah, lantaran terkendala biaya, gejolak itu semakin meninggi. Obsesinya, dia ingin mengangkat status sosial diri dan keluarganya menjadi lebih baik, ”Untuk menggapai itu semua, ilmu adalah satu-satu kuncinya” ulasnya panjang-lebar.
Syukurnya, sang-ayah mendukung penuh. Dengan menjual hasil panen, pada tahun 1998, selesai menamatkan Sekolah Dasar (SD) ia berangkat ke Jawa Timur, guna meneruskan studi di salah satu pondok pesantren di sana.
Pada awalnya, sebagai anak yang masih ingusan, sangat berat bagi Huda berpisah jauh dari sanak keluarga yang berada di kampung halaman, Lampung Timur. Apa lajur dikata, seperti kata pepatah, “layar sudah berkembang, pantang surut untuk ke belakang.”
Huda pun membulatkan tekad untuk tetap tinggal di daerah asing baginya. ”Mungkin pola pendidikkan keluarga yang tidak pernah meninabobokkanku, menjadi salah satu unsur yang mampu menguatkanku saat itu,” terangnya.
***
Sebagaimana jamak diketahui, bahwa sekolah di pondok pesantren, itu relatif lebih mahal biayanya, dibanding sekolah umum. Sebab, selain harus membayar uang sekolah, para santri pun harus membayar uang asrama dan makan sekaligus.
Di tengah perjalanan, hal inilah yang menjadi pelemik Huda. keluarganya tersiok-seok, sehingga nyaris saja ia ’terpelanting’, dan pulang kampung, karena tidak kuat pendanaan. Untungnya, salah satu familinya yang berprofesi sebagai karyawan bengkel, menolak mentah-mentah ide itu.
“Sudah jauh-jauh datang dari Lampung, kenapa harus pulang tanpa hasil. Teruskan belajarmu. Masalah dana, biar saya yang berusaha. Yang penting kamu serius, kejar impian-impianmu,” paparnya menirukan nasehat familinya tersebut.
Sejak peristiwa itu, ‘volume’ belajar Huda tambah tinggi. Pagi, sore, dan malam, ia gunakan untuk mengulang pelajaran yang telah didapat dari sekolah, atau membaca buku-buku yang lainnya. Alhamdulillah, usaha yang dilakukan membuahkan hasil. Meskipun tidak melulu juara satu, tapi, nilai-nilai yang dicapai, sudah cukup baginya untuk memperoleh bia siswa. Tentu saja hal ini, sangat meringankan bebannya dan keluarga.
Tidak cukup itu perjuangan yang dilakukan Huda. Tidak ingin hanya berpangku dua belah tangan dalam menghadapi masalah finansial, dengan skill barunya, mampu berbahasa asing, Arab dan Inggris, yang dia peroleh dari hasil studi, dia mulai mengeles murid-murid di perumahan-perumahan warga sekitar kampusnya. Bahkan tidak jarang juga, tanpa takut dilecehkan rekan-rekannya, dia rela bekerja sebagai buruh bangunan, yang harus mengecet gedung bertingkat, di sela-sela kesibukkannya sebagai pelajar.
Dari proses inilah, akhirnya Huda mampu menyelesaikan studinya, hingga di perguruan tinggi, sehingga berhak menyandang gelar Strata Satu (S 1), dengan hasil nilai komulatif yang cukup memuaskan. Karena –mungkin- dianggap mahasiswa yang berprestasi, selulusnya dari kuliah, dia langsung diamanahi untuk membantu mengajar di almamaternya tersebut.
”Mudah-mudahan aku terus ber-istiqomah, dan diberikan kemudahan-kemudahan oleh Allah, dalam menjalankan amanah-amanah yang saat ini kuemban,” do’anya sebelum mengakhiri wawancara. [Robinsah/Dikisahkan langsung oleh Khoirul HudaPerempuan paru baya itu terbujur kaku. Ia meninggal setelah beberapa minggu mengalami sakit parah. Sekujur tubuhnya ditutupi kain putih berukuran ± 1,5x1 M. Para pelayat, yang kebanyakan ibu-ibu, duduk mengelilinginya. Terlihat mulut mereka berkomat-kamit, melafalkan surat Yasin dan do’a-do’a keselamatan. Buliran-buliran bening pun mulai keluar dari pelupuk mata, mengalir membasahi pipi-pipi, mengiringi bacaan-bacaan mereka.
0 komentar:
Post a Comment